ABBI Angkasa Perdana
Meski berusaha tenang, tubuh sang pemuda tetap gemetar ketika moncong pistol menempel di pelipisnya. Beruntung, si pemegang senjata tak menarik pelatuknya setelah menerima penjelasan dan komitmen pemuda itu.
Ini bukan penggalan kisah sinetron, melainkan kejadian nyata yang dialami Abbi Angkasa Perdana enam tahun lalu. “Saya memang kemudian memberikan semua data latar belakang saya, termasuk alamat orang tua. Dan saya berjanji padanya untuk membayar utang,” kata Abbi mengenang. Kala itu, ia terlilit utang Rp 160 juta, angka yang sangat besar untuk ukuran orang seperti dirinya yang ketika itu hanya punya aset Rp 8 juta.
Abbi mengaku ketika itu kena tipu. Salah satu perusahaan memesan 20 unit komputer lengkap dengansoftware Microsoft-nya. Mendapat order sebesar itu, Abbi pun berani mengajukan order utangan pada sebuah distributor komputer di Harco Mangga Dua. “Setelah barang dikirim, tiga hari kemudian saya tagih. Ternyata perusahaan itu sudah hilang. Mereka hanya menyewa tempat untuk kantor satu minggu saja,” katanya.
Tentu saja, pihak distributor komputer tak mau tahu urusan itu, dan tetap meminta Abbi agar melunasi utangnya. Padahal, waktu itu ia juga harus segera berangkat ke Australia untuk kuliah. Untungnya, setelah mendapat penjelasan dan janji akan melunasi utang dengan giro, si pemberi utang mau menerima. Abbi pun tetap bisa melanjutkan kuliah di Faculty of Medicine University of Melbourne.
Bagaimana bisnisnya? Rupanya Abbi tak kapok. Ia tetap menjalankan bisnis jual-beli komputernya dengan bantuan seorang karyawan di Jakarta.
Sejatinya, Abbi mulai berbisnis pada 2003, ketika masih kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sembari kuliah, ia sempat menjadi teknisi komputer di Harco. Abbi belajar komputer secara otodidak sejak sekolah. Pagi kuliah, sore menjadi teknisi. Gajinya waktu itu hanya Rp 25 ribu/hari. “Biaya hidup di Jakarta kan tinggi. Dan orang tua mendidik dengan cara tak memberikan uang pendidikan atau makan selepas SMU,” ujar putra H. Tri Hardiyanto, seorang pengusaha ternak ayam, ini. “Sebenarnya saya sendiri mulanya tidak ada niat untuk bisnis,” ungkap Abbi.
Di awal bisnisnya, pria kelahiran 14 Mei 1985 ini mendapat pesanan dari teman kuliahnya dari Jepang untuk membelikan laptop. Abbi diberi Rp 20 juta. Padahal, waktu itu harga laptop paling mahal hanya Rp 15 juta. Lalu, Abbi pun mengambil kesempatan itu, bahkan ia berani memberikan garansi maintenance selama tiga tahun. Dari situlah, ia menjadi rujukan bagi teman-temannya baik dalam negeri maupun mahasiswa dari luar negeri. “Apalagi, saya kuliah di kedokteran yang mayoritasnya anak orang kaya. Ya sudah, saya tawarkan saja ke mereka,” katanya sambil tertawa.
Abbi kemudian juga mendapat proyek dari dosennya untuk merakit software di kampus UI. Melihat usahanya mulai berkembang, ia pun memutuskan membuka “kantor”. “Saya cari kos-kosan yang namanya keren untuk dicantumkan ke kartu nama,” katanya. “Eh, saya mendapat kos bernama Wisma Melia Graha di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. Namanya kan mirip-mirip gedung di kawasan Sudirman,” cerita Abbi sambil terkekeh. Usaha servis komputernya mulai berjalan dengan satu karyawan. Kliennya pun mulai bertambah. Namun, karena tak berhati-hati, malang tak bisa ditolak, ia tertipu juga dengan nilai order yang waktu itu sangat besar.
Di Australia Abbi kerja serabutan untuk melunasi utang. Abbi pernah menjadi tukang sapu di Telstra Dome, Melbourne, dengan bayaran Aus$ 30/jam. Selain itu, ia juga menjadi petugas pembuka-penutup toko, dengan bayaran Aus$ 10/hari. Bahkan, ia pun pernah berjualan jus buah. “Kerja apa pun saya lakukan, yang penting halal. Pulang-pulang saya malah surplus Rp 40 juta, dan utang saya bisa lunas,” kata Abbi bangga.
Di luar dugaan, si pemberi utang malah akhirnya kagum dengan komitmen Abbi. Nama Abbi jadi pembicaraan di kalangan rekan-rekan si pemberi utang. Abbi dan mereka pun kemudian berteman, dan menjalin bisnis. Dari sini, Abbi memberanikan diri membuat badan hukum bernama PT Satu Solusi Intermedia Utama.
Dengan memiliki perkawanan dengan jaringan distributor komputer, bisnisnya berkembang. Pada 2007 karyawannya menjadi 26 orang.
Bisnis Abbi, dari semula hanya maintenance dan mejual komputer pun berkembang ke aneka bidang. Khusus untuk bidang IT shop, ia punya merek One Shop dan situs JuraganGadget.com. Selain toko online, ia juga membuka beberapa toko komputer di Harco Mangga Dua, Blok M, Utan Kayu dan Botani Square. Klien korporatnya kini antara lain BNI, Asuransi Sinarmas, Yamaha, Daihatsu, GT Radial dan Anne Avantie.
Seiring berjalannya waktu, Abbi mendirikan holding company Grup Angkasa. Dalam grup itu kini bernaung CV Alia Solusi Integrasi (percetakan), CV Perdana Putra Computer (solusi TI), CV Prima Varia Perdana (manufacturing & ritel), PT Gerbang Berkah Solusi Internasional (parking management), The Upstairs (furnitur), PT Green Solution Perdana (produsen lampu LED), dan PT Angkasa Digital Media (pengembangan dan manajemen web serta kampanye media sosial).
“Secara grup omsetnya Rp 30 miliar per tahun. Padahal, saya mulai usaha hanya dengan modal Rp 200 ribu,” katanya bangga. “Target saya, tahun 2015 akan IPO. Dan, saya mau menjadi pemilik perusahaan termuda yang melakukan IPO,” kata Abbi dengan raut muka serius.
Sosok Abbi sebagai wirausaha muda yang visioner diakui Ajeng Pratiwi Kusuma. Wanita yang membantu Abbi sejak awal membangun bisnis ini mengakui bosnya itu memiliki visi bisnis yang jauh ke depan. Sering karyawan harus terseok-seok mengikuti jalan pikiran Abbi. “Jiwa entrepreneurship-nya melampaui umurnya,” kata Ajeng yang kini menjabat sebagai VP Operasional PT Satu Solusi Intermedia.
Source : Here
Ini bukan penggalan kisah sinetron, melainkan kejadian nyata yang dialami Abbi Angkasa Perdana enam tahun lalu. “Saya memang kemudian memberikan semua data latar belakang saya, termasuk alamat orang tua. Dan saya berjanji padanya untuk membayar utang,” kata Abbi mengenang. Kala itu, ia terlilit utang Rp 160 juta, angka yang sangat besar untuk ukuran orang seperti dirinya yang ketika itu hanya punya aset Rp 8 juta.
Abbi mengaku ketika itu kena tipu. Salah satu perusahaan memesan 20 unit komputer lengkap dengansoftware Microsoft-nya. Mendapat order sebesar itu, Abbi pun berani mengajukan order utangan pada sebuah distributor komputer di Harco Mangga Dua. “Setelah barang dikirim, tiga hari kemudian saya tagih. Ternyata perusahaan itu sudah hilang. Mereka hanya menyewa tempat untuk kantor satu minggu saja,” katanya.
Tentu saja, pihak distributor komputer tak mau tahu urusan itu, dan tetap meminta Abbi agar melunasi utangnya. Padahal, waktu itu ia juga harus segera berangkat ke Australia untuk kuliah. Untungnya, setelah mendapat penjelasan dan janji akan melunasi utang dengan giro, si pemberi utang mau menerima. Abbi pun tetap bisa melanjutkan kuliah di Faculty of Medicine University of Melbourne.
Bagaimana bisnisnya? Rupanya Abbi tak kapok. Ia tetap menjalankan bisnis jual-beli komputernya dengan bantuan seorang karyawan di Jakarta.
Sejatinya, Abbi mulai berbisnis pada 2003, ketika masih kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sembari kuliah, ia sempat menjadi teknisi komputer di Harco. Abbi belajar komputer secara otodidak sejak sekolah. Pagi kuliah, sore menjadi teknisi. Gajinya waktu itu hanya Rp 25 ribu/hari. “Biaya hidup di Jakarta kan tinggi. Dan orang tua mendidik dengan cara tak memberikan uang pendidikan atau makan selepas SMU,” ujar putra H. Tri Hardiyanto, seorang pengusaha ternak ayam, ini. “Sebenarnya saya sendiri mulanya tidak ada niat untuk bisnis,” ungkap Abbi.
Di awal bisnisnya, pria kelahiran 14 Mei 1985 ini mendapat pesanan dari teman kuliahnya dari Jepang untuk membelikan laptop. Abbi diberi Rp 20 juta. Padahal, waktu itu harga laptop paling mahal hanya Rp 15 juta. Lalu, Abbi pun mengambil kesempatan itu, bahkan ia berani memberikan garansi maintenance selama tiga tahun. Dari situlah, ia menjadi rujukan bagi teman-temannya baik dalam negeri maupun mahasiswa dari luar negeri. “Apalagi, saya kuliah di kedokteran yang mayoritasnya anak orang kaya. Ya sudah, saya tawarkan saja ke mereka,” katanya sambil tertawa.
Abbi kemudian juga mendapat proyek dari dosennya untuk merakit software di kampus UI. Melihat usahanya mulai berkembang, ia pun memutuskan membuka “kantor”. “Saya cari kos-kosan yang namanya keren untuk dicantumkan ke kartu nama,” katanya. “Eh, saya mendapat kos bernama Wisma Melia Graha di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. Namanya kan mirip-mirip gedung di kawasan Sudirman,” cerita Abbi sambil terkekeh. Usaha servis komputernya mulai berjalan dengan satu karyawan. Kliennya pun mulai bertambah. Namun, karena tak berhati-hati, malang tak bisa ditolak, ia tertipu juga dengan nilai order yang waktu itu sangat besar.
Di Australia Abbi kerja serabutan untuk melunasi utang. Abbi pernah menjadi tukang sapu di Telstra Dome, Melbourne, dengan bayaran Aus$ 30/jam. Selain itu, ia juga menjadi petugas pembuka-penutup toko, dengan bayaran Aus$ 10/hari. Bahkan, ia pun pernah berjualan jus buah. “Kerja apa pun saya lakukan, yang penting halal. Pulang-pulang saya malah surplus Rp 40 juta, dan utang saya bisa lunas,” kata Abbi bangga.
Di luar dugaan, si pemberi utang malah akhirnya kagum dengan komitmen Abbi. Nama Abbi jadi pembicaraan di kalangan rekan-rekan si pemberi utang. Abbi dan mereka pun kemudian berteman, dan menjalin bisnis. Dari sini, Abbi memberanikan diri membuat badan hukum bernama PT Satu Solusi Intermedia Utama.
Dengan memiliki perkawanan dengan jaringan distributor komputer, bisnisnya berkembang. Pada 2007 karyawannya menjadi 26 orang.
Bisnis Abbi, dari semula hanya maintenance dan mejual komputer pun berkembang ke aneka bidang. Khusus untuk bidang IT shop, ia punya merek One Shop dan situs JuraganGadget.com. Selain toko online, ia juga membuka beberapa toko komputer di Harco Mangga Dua, Blok M, Utan Kayu dan Botani Square. Klien korporatnya kini antara lain BNI, Asuransi Sinarmas, Yamaha, Daihatsu, GT Radial dan Anne Avantie.
Seiring berjalannya waktu, Abbi mendirikan holding company Grup Angkasa. Dalam grup itu kini bernaung CV Alia Solusi Integrasi (percetakan), CV Perdana Putra Computer (solusi TI), CV Prima Varia Perdana (manufacturing & ritel), PT Gerbang Berkah Solusi Internasional (parking management), The Upstairs (furnitur), PT Green Solution Perdana (produsen lampu LED), dan PT Angkasa Digital Media (pengembangan dan manajemen web serta kampanye media sosial).
“Secara grup omsetnya Rp 30 miliar per tahun. Padahal, saya mulai usaha hanya dengan modal Rp 200 ribu,” katanya bangga. “Target saya, tahun 2015 akan IPO. Dan, saya mau menjadi pemilik perusahaan termuda yang melakukan IPO,” kata Abbi dengan raut muka serius.
Sosok Abbi sebagai wirausaha muda yang visioner diakui Ajeng Pratiwi Kusuma. Wanita yang membantu Abbi sejak awal membangun bisnis ini mengakui bosnya itu memiliki visi bisnis yang jauh ke depan. Sering karyawan harus terseok-seok mengikuti jalan pikiran Abbi. “Jiwa entrepreneurship-nya melampaui umurnya,” kata Ajeng yang kini menjabat sebagai VP Operasional PT Satu Solusi Intermedia.
Source : Here